Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Soekarno adalah seorang tokoh sejarah yang memerdekakan republic ini jadi kita harus mempelajari dan mengetahui sejarah kebradaannya serta perjuangannya salah satiunya yaitu terciptanya lambing Negara kita yaitu bururng garuda
1.2 Rumusan Masalah
· Krangnya minat masyarakat dalam mengathui sejarah
· Belum terlalu focus pemda dalam mengembngkan pariwiasata bahari
1.3 Lingkup dan Batasan Penulisan
Disini penulis akan membahas tentang:
· Sejarah rumah soekarno yang ada di Ende selama pembuangan oleh belanda
· Apa saja yang di buat soekarno selama di Ende
Bab IV Pembahasan
Menyebut kota Ende tak lepas dari nama besar Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia. Sesungguhnya kota Ende romantis. Di tepi laut yang indah, di kaki daerah perbukitan yang berdiri rapat seperti pagar. Bahkan, dengan status tahanan pun, Bung Karno dapat menimba banyak sekali ilham dari alam sekelilingnya, seperti kelak dibuktikan oleh berbagai cerita sandiwara karyanya dalam Toneel Club Kelimutu antara tahun 1934-1938 di Ende.
Teluk Sawu sore itu tak berapa indah, karena mendung. Tapi dulu Bung Karno bisa makan angin di pantai tersebut. Lautnya tenang, dikelilingi bukit-bukit yang seolah saling menyembul dari laut. Di situ terdapat sebuah tanah lapangan (lapangan sepak bola sekarang) dengan pohon sukun yang besar sekali.
Kalau hari panas,Bung Karno sering duduk berteduh di bawahnya sambil memandangi daun sukun yang bergigi lima buah. Daun ini punya sudut lima pada setiap sisi. Di bawah pohon sukun itu Bung Karno merenungkan kemungkinan dasar negara RI yang kemudian diberi nama Pancasila.
Pohon itu kemudian tumbang kena angin. Mungkin karena kelilingnya dibuat pagar tembok yang merusak akarnya. Setelah pohon sukun itu tumbang dan menghilang beberapa tahun, maka pada tanggal 17 Agustus 1981 tepat pukul 9 pagi telah ditanam kembali.Pelaksanaan penanam kembali pohon bersejarah tersebut, berlangsung dalam suatu upacara singkat yang dihadiri oleh sekitar 40 orang teman Bung Karno yang pernah mendampingi Bung Karno tahun 1934 di Ende.
“Duplikat” pohon sukun tersebut kini sudah besar. Di bawah pohon yang oleh masyarakat setempat dianggap ‘keramat’ ini tertulis: “Di Tempat Ini Bung Karno Merenungkan Pancasila”.
Kota Ende, ibukota Kabupaten Ende, di pulau Flores, memang tidak terlalu besar. Seperti halnya kota-kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) lainnya, kota Ende juga kurang tertata rapi. Jalan-jalan dalam kota masih sangat sempit dan masih banyak yang tidak beraspal. Tetapi kota Ende sudah tersohor sejak dahulu, bukan hanya di nusantara tetapi sampai ke mancanegara. Pasalnya, di kota inilah Soekarno, yang saat itu baru berusia 35 tahun, diasingkan oleh penjajah Belanda selama empat tahun.
Ketika Soekarno diasingkan, kota Ende masih merupakan kota mati. Di sana masih banyak hutan, kebun karet dan tanaman rempah-rempah. Jangankan transportasi udara, pelabuhan laut pun belum ada. Rumah-rumah penduduk masih bisa dihitung dengan jari. Kini, kota Ende sudah memiliki Bandar udara Ipi yang bisa didarati pesawat Fokker 28. Selain bandara, Ende juga memiliki pelabuhan yang menghubungkan ke kota-kota lainnya seperti Kupang, Mataram, Denpasar, Surabaya dan lain-lain.
Adalah Ir. Soekarno yang punya titel Sarjana Teknik keluaran ITB Bandung datang ke Ende sebagai orang hukuman. Dia adalah aktivis politik yang memperjuangkan Indonesia merdeka. Dia ditangkap, diadili dan dihukum. Vonis Pengadilan Kolonial menetapkan dia harus dibuang ke Ende-Flores. Tidak ada pilihan lain, kecuali Bung Karno harus mentaati keputusan penguasa.
Sesuai surat keputusan pemerintah kolonial Belanda pada 28 Desember 1933, maka Bung Karno harus dibuang ke Ende bersama istrinya Inggit Ganarsih, disertai mertuanya Ibu Amsih dan dua anak angkatnya, Ratna dan Kartika sebagai tahanan politik.
Selama delapan hari pelayaran dari Surabaya, dengan dikawal dua orang petugas Reserse, tibalah Soekarno dan keluarganya di Ende. Soekarno langsung dimasukkan dalam tahanan pasanggrahan milik pemerintah kolonial Belanda. Setelah beberapa waktu menempati pasanggrahan, Bung Karno pindah dan tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru di daerah Nggobe.
Soekarno dan keluarganya menempati sebuah rumah sederhana di tempat yang sunyi di luar kota Ende. Lantainya semen, berkamar empat buah, dengan sebuah sumur di halaman belakang. Di tempat itu tak ada tetangga. Hanya dengan empat rumah yang letaknya berjauhan. Di kiri rumah, agak jauh, dapat memandang bukit Wongge yang lancip seperti kukusan nasi. Warna hijaunya yang kelam menyejukkan mata dan hati.
Masa bahagia yang indah selama di Ende, rupanya disurami oleh musibah yang menimpa keluarga Bung Karno pada tahun 1935. Ibu Amsih mertua Bung Karno yang paling menyayangi Bung Karno, wafat di Ende. Ibu Amsih dimakamkan di pemakaman Karara-Ende.
Karena begitu cintanya pada mertua, maka Bung Karno sendirilah yang mengerjakan batu kubur almarhum mulai dari menyediakan batu, mengaduk semen sampai kepada pekerjaan metsel, Bung Karno melakukannya sendiri. Kuburan Ibu Amsih ternyata masih dalam keadaan baik hingga kini, karena berkonstruksi kokoh. Apakah itu disebabkan oleh sentuhan karya seorang Sarjana Tehnik yang bernama Soekarno?
Baru dua tahun Ibu Amsih berpulang, menjelang akhir 1937 Bung Karno menderita sakit parah. Kemudian pada 1938 Bung Karno dan keluarganya dipindahkan ke Bengkulu. Tinggallah sebuah batu nisan dan sebuah rumah tua yang penuh dengan kenangan sejarah.
Di masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia, rumah pengasingan Bung Karno yang dibangun pemiliknya pada 1927, dijadikan sebagai markas perhubungan tentara Jepang. Waktu tentara Jepang angkat kaki dari Ende, rumah tersebut kembali ke keluarga Ambuwaru. Dan ketika pemiliknya meninggal dunia, rumah itu jatuh ke tangan ahli warisnya, Haji Ahmad Ambuwaru (anak kandung Haji Abdullah Ambuwaru), timbul sengketa dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Ende sampai ke meja hijau. Akhirnya, Pemda Ende sebagai lawan Ahmad Ambuwaru menang dalam perkara perdata tersebut.
Tetapi jauh sebelum sengketa tersebut, pada tahun 1952 rumah pengasingan Bung Karno pernah dijadikan sebagai Kantor Sosial Daerah Flores sekaligus tempat bersidang DPRD Flores. Setelah Indonesia merdeka dan menjadi Presiden RI, Bung Karno sudah tiga kali berkunjung ke rumah pengasingan ini, yaitu tahun 1951, 1954 dan 1957.
Tokoh lain yang pernah berkunjung ke sini diantaranya Megawati Soekarnoputri (ketika menjabat Wakil Presiden) dan Akbar Tandjung (saat menjabat Ketua DPR-RI). Tak urung, kunjungan Mega dan Akbar kemudian dikait-kaitkan dengan msiteri rumah Bung Karno ini. Konon, setelah Mega melawat ke sini, Gus Dur jatuh dan Mega naik jadi presiden. Demikian juga Akbar yang konon lolos dari jerat hukum dan dibebaskan oleh Mahkamah Agung usai berkunjung ke sini.
Sebaliknya, setelah menjadi presiden, Mega tidak pernah berkunjung ke sini.Pernah sekali datang ke NTT tetapi hanya sampai di Maumere, tidak ke Ende. Akibatnya, ketika pemilihan presiden tahap kedua, Mega tergeser oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Begitulah cerita yang berkembang pada masyarakat setempat. Percaya atau tidak terserah pada pembaca!
Di rumah pengasingan ini, para pengunjung akan dibawa untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah 75 tahun silam kala Bung Karno dan keluarganya menempati rumah itu. Lantainya semen, berkamar empat buah, dengan sebuah sumur di halaman belakang. Rumah yang dahulu terpencil kini terletak di jantung kota Ende, tepatnya di Jl.Perwira. Tempat itu menjadi perkampungan yang ramai, dan sesuai perkembangan kota berhalaman sempit.
Dari luar, sekilas tidak ada yang istimewa dengan rumah ini. Bahkan terkesan sepi karena tidak berpenghuni kecuali Musa seorang penjaga yang bisa melayani pengunjung yang datang. Musa adalah cucu Abu Bakar, seorang pemain sandiwara bersama Bung Karno selagi muda.
Bagian dalam rumah terdiri dari empat kamar. Satu kamar tidur untuk Bung Karno, satu kamar untuk Ibu Inggit bersama ibunya, satu ruang tamu, dan satu kamar khusus Bung Karno untuk bersemedi (bersembahyang). Tidak banyak yang berubah dari bentuk aslinya sejak rumah tersebut dibangun tahun 1927, kecuali atap seng yang sudah dua kali diganti karena bocor. Di bagian belakang masih terdapat sumur tua yang airnya jernih dan dingin.
Demikian pula ruang makan dan dapur, masih tetap seperti semula. Di ruang paling depan dipajang satu rak (lemari) kaca untuk menyimpan peralatan peninggalan Bung Karno seperti dua bauh tongkat ber-kepala kera yang selalu digunakan Bung Karno membalas anggukan hormat orang-orang Belanda padanya. Bung Karno tidak membalas hormat orang-orang Belanda itu dengan anggukan, tapi hanya dengan mengarahkan tongkat ber-kepala kera itu kepada lawannya. Cara ini menandakan bahwa satu pendirian bahwa sifat-sifat penjajah hanya bisa dihargai oleh binatang dan tidak oleh manusia.
Selain itu ada satu lukisan tangan Bung Karno tentang Pura Bali yang pertama tatkala tiba di Ende, sebagai rasa hormat Bung Karno kepada ibundanya yang berasal dari Bali. Di atas pura itu dibuat sebuah helm yang sudah miring, sementara di depannya ada empat orang sedang berdoa yang terdiri dari pemeluk Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Menurut Bung Karno, helm tersebut menggambarkan penjajah Belanda sudah hamper jatuh. Sedang keempat orang yang sedang berdoa bersama menggambarkan bahwa Indonesia memiliki multi agama.
Seperti kebanyakan peninggalan masa lalu yang sudah kusam, isi rumah tersebut juga demikian. Misalnya, ranjang besi yang biasa dipakai tidur Bung Karno, kini hanya tinggal rangka. Hal serupa terlihat di kamar Ibu Inggit, sebuahb ranjang besi yang juga tinggal rangka. Konon, di ranjang inilah Ibu Inggit tidur bersama ibu kandungnya Amsih yang sudah sakit-sakitan dan kemudian meninggal dan dimakamkan di Ende.
Di ruang tamu terdapat dua kursi rotan dan satu meja bundar. Di kursi inilah, Bung Karno biasa menerima tamunya saat ia diasingkan. Kursi tersebut masih bisa diduduki oleh para pengunjung. Bahkan, muncul cerita misteri bahwa jika pengunjung berfoto di kursi ini tidak pernah jadi gambarnya. Di sebelah kamar tidur Bung Karno masih terdapat satu kamar lagi yang biasanya dipergunakan oleh Bung Karno untuk shalat (bersembahyang) dan bersemedi. Di kamar ini masih terdapat bekas dua telapak tangan Bung Karno ketika dia bersujud saat melaksanakan shalat.
Bab V kesimpulan Dan Saran
5.1Kesimpulan
Adanya peninggalan sejarah serta adanya peran serta kabupaten Ende untuk RI tercinta ini makanya kita harus bangga serta melestarikannya dan menjaga agar anak cucu kiota tau bahwa sejarah yang sebenarnya adalah begini.
5.2 Saran
· Harus membangun dan menata lebih bagus agar dapat dijadikan tempat pariwisata
Daftar pustaka
Flores posonline.com rabu 28Des 2007
Undang-uandang Negara RI, Nomor 73 tentang pariwisata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar