Cari Blog Ini

Jumat, 28 Januari 2011

SAMPAH

iliwung, Dulu Terbersih Kini Tempat Sampah
Sungai Ciliwung dulu pernah bersih, sehingga dipakai sebagai air minum dan mandi.
Senin, 18 Oktober 2010 | 20:06 WIB

Banjir lagi, banjir lagi. Jakarta di tangan ahlinya saja masih kewalahan menghadapi fenomena yang satu ini. Jangankan menghilangkan, meminimaliskan banjir saja bukan main susahnya.
Perilaku masyarakat dituding menjadi penyebab terjadinya banjir atau genangan. Membuang sampah sembarangan sehingga drainase menjadi tersumbat memang merupakan pemandangan sehari-hari, terutama di wilayah-wilayah sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.
Curah hujan yang tinggi, penumpukan sampah, pendangkalan sungai, drainase buruk, dan minimnya tanah resapan, merupakan penyebab banjir di Jakarta yang sudah lama teridentifikasi. Pesatnya urbanisasi ke Jakarta menjadi salah satu faktor kondisi ini.
Tidak diperkirakan sebelumnya, dalam kurun waktu seratus tahun saja sungai-sungai di Jakarta telah mengalami penurunan kualitas sangat besar. Pada abad XIX, air sungai-sungai di Jakarta masih bening sehingga bisa digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci pakaian.
Bahkan ratusan tahun yang lalu, Sungai Ciliwung banyak dipuji-puji pendatang asing. Disebutkan, pada abad XV – XVI Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota. Hal ini sangat dirasakan para pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketika itu Ciliwung mampu menampung 10 buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa. Kini jangankan kapal besar, kapal kecil saja sulit melayari Ciliwung karena baling-baling kapal hampir selalu tersangkut sampah.
Sumber lain mengatakan, selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk diisikan ke botol dan guci mereka.
Jean-Baptiste Tavernier, sebagaimana dikutip Van Gorkom, mengatakan Ciliwung memiliki air yang paling baik dan paling bersih di dunia (Persekutuan Aneh, 1988).
Dulu, berkat Sungai Ciliwung yang bersih, kota Batavia pernah mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak pendatang asing menyanjung tinggi, bahkan menyamakannya dengan kota-kota ternama di Eropa, seperti Venesia di Italia.
Karena dikuasai penjajah, tentu saja kota Batavia dibangun mengikuti pola di Belanda. Ciri khasnya adalah dibelah oleh Sungai Ciliwung, masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit (kanal) yang saling sejajar dan saling melintang.
Pola seperti ini mampu melawan amukan air di kala laut pasang, dan banjir di dalam kota karena air akan menjalar terkendali melalui kanal ke segala penjuru.
Kemungkinan bencana ekologi di Jakarta mulai terjadi sejak 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya berdampak besar, antara lain menyebabkan iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan.
Maka kemudian orang tidak lagi menjuluki Batavia sebagai “Ratu dari Timur”, melainkan “Kuburan dari Timur”. Bencana ini berdampak pada pemerintahan di Batavia yang mulai goyah karena banyak pihak saling tuding terhadap musibah tersebut.
Para pengambil kebijakan terdahulu dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata pihak oposisi.
Sebagian orang menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sejak itulah perlahan-lahan Ciliwung mulai tercemar.
Berbagai limbah pabrik gula dibuang ke Ciliwung. Demikian pula limbah dari usaha binatu dan limbah-limbah rumah tangga, karena berbagai permukiman penduduk banyak berdiri di sepanjang Ciliwung.
Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi 500.000 orang.
Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, kampung, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka yang kini berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian).
Sejak membludaknya arus urbanisasi itu, pendangkalan Ciliwung dan sungai-sungai kecil lainnya terus terjadi tanpa diimbangi pengerukan lumpur yang layak. Pada 1960-an, misalnya saja, sejumlah sungai kecil masih bisa dilayari perahu dari luar kota. Waktu itu kedalaman sungai mencapai tiga meter. Namun kini kedalaman air tidak mencapai satu meter.
Sayang, semakin derasnya arus urbanisasi ke Jakarta, kondisi Ciliwung semakin amburadul. Banyaknya permukiman kumuh di Jakarta menyebabkan Ciliwung beralih fungsi menjadi “tempat pembuangan sampah dan tinja terpanjang di dunia”.
Banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932, yang merupakan siklus 25 tahunan. Penyebab banjir adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).(Djulianto Susantio)

Sampah ( Part 01) : Merobah Masalah Menjadi Berkah

Sampah ( Part 01) : Merobah Masalah Menjadi Berkah

RTH

Pengembang Terus Berupaya Terapkan Konsep Green Living

Senin, 24 Januari 2011 | 11:22 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembang terus berupaya menerapkan konsep green living meskipun tidak mudah. Penerapan konsep green living atau perumahan hijau secara keseluruhan di perumahannya di Green Andara Residence, Pondok Labu, Jakarta Selatan masih sulit bila semua kriterianya diterapkan.
"Kalau kriterianya semua dipakai sampai penggunaan solar, kami masih susah mencapainya untuk diterapkan saat ini," kata Adat Prawira Bima, Manajer Pemasaran dan Penjualan PT. Bintang Mahameru mengatakan  kepada wartawan dalam peluncuran cluster baru Elvera di Jalan Andara, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Minggu (23/1/2011).
Meski demikian, Adat mengatakan pihaknya tetap berkomitemen menuju konsep green living. "Kami berkomitmen dengan konsep hijau. Komitmen kami dengan memakai nama Green Andara," ujarnya.
"Arahnya kesana, pengolahan sampah organik dan non organik kami kejar, WTP kami kejar. Saat ini, kami tidak menjanjikan green living, tapi semaksimal mungkin dengan tropical living," imbuh Adat.
Untuk konsep hijau di Green Andara Residence sendiri, Adat mengatakan telah memfokuskan pada konsep ruang terbuka hijau. Diwujudkan dengan menanam tanaman buah, tanaman tropis, dan tanaman pohon perindang, seperti pohon kecapi, pohon mangga, pohon matoa, pohon asem jawa, pohon trembesi, dan lainnya.

NTT INFORMASI TRAVELING


Peta
Provinsi Nusa Tenggara Timur

*) Klik pada link untuk memperbesar
 

PETA KABUPATEN NAGEKEO ABE KASALI

Kabupaten Nagekeo


kabupaten nagekeo
Kabupaten Nagekeo
Kabupaten Nagekeo adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terbentuk berdasarkan UU no. 2 Tahun 2007. Peresmian Kabupaten Nagekeo terlaksana tanggal 22 Mei tahun 2007 dengan luas wilayah 1.416,96 km2 dan berpenduduk 123.289 jiwa saat itu. Kabupaten Nagekeo terletak di sebelah barat dari Pulau Flores dengan ibukota kabupaten adalah Mbay. Secara administratif Kabupaten Nagekeo berbatasan langsung dengan Kabupaten  Ngada dan Kabupaten Ende. Kota Mbay dihubungkan oleh transportasi jaringan jalan arteri primer yang berhubungan antara mulai dari kawasan paling timur Pulau Flores yaitu dari Larantuka (ibukota Flores Timur) menuju Kota Mbay sampai ke bagian Barat Flores yaitu di Kota Labuan Bajo (Ibukota Manggarai Barat). Sedangkan untuk mencapai Kabupaten Nagekeo dari luar Pulau Flores dapat menggunakan jalur laut melalui Pelabuhan Aimere (Kabupaten Ngada) atau pelabuhan laut di Kabupaten Ende dan jalur pesawat di Bandar Udara So’a (Kabupaten Ngada) dan Bandar Udara Hasan Aroeboesman (Kabupaten Ende) .
Kabupaten Nagekeo ini mengandalkan sektor pertanian, pertambangan dan penggalian serta industri sebagai sektor penggerak perkembangannya. Kabupaten Nagekeo memiliki Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Mbay, sehingga memungkinkan kawasan ini berkembang menjadi pusat produksi, pengolahan dan perdagangan hasil-hasil pertanian mengingat posisi strategis dan dukungan sumber daya alam yang dimilikinya. Kehadiran Kapet Mbay pada wilayah ini merupakan penggerak ekonomi yang sangat berharga bagi perekonomian Nagekeo secara keseluruhan.
Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis dan terbentang hampir sebagian besar padang rumput, juga ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan sebagainya serta kaya dengan fauna, antara lain hewan-hewan besar, hewan-hewan kecil, unggas, binatang menjalar, dan binatang liar. Disamping itu daerah ini kaya dengan obyek wisata seperti Pantai Aina. Panorama alam seperti air panas (Puta) dan wisata budaya seperti peninggalan batu rumah adat tradisional, kesenian dan kerajinan tangan.
LETAK DAN KONDISI GEOGRAFIS
Kabupaten Nagekeo secara geografis terletak antara 8026’16,12” LS – 8054’40,24” LS dan  12105’19,52” BT – 121031’30,94” BT. Sedangkan  wilayah dengan ketinggian tanah dari permukaan laut 0 – 250 m seluas 30,72%  ; 251 – 500 m seluas 34,84% ; 501 – 750 m seluas 15,86% ; 751 – 1000 m seluas 10,75% ;  lebih besar dari 1000 m seluas 7,83%.
Kondisi iklim yang sejuk dan ketersediaan hijauan yang relatif besar sangat cocok bagi pengembangan ternak sapi. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Nagekeo adalah 121,92 mm/thn dengan rata-rata hari hujan adalah 10 hari/tahun.
WILAYAH ADMINISTRASI
Secara administratif wilayah Kabupaten Nagekeo berbatasan dengan :
  1. Sebelah Utara     :  Laut Flores
  2. Sebelah Timur     :  Kabupaten Ende
  3. Sebelah Selatan   :  Laut Sawu
  4. Sebelah Barat     :  Kabupaten Ngada
Kabupaten Nagekeo terdiri dari 7 kecamatan yang meliputi 77 desa dan 15 kelurahan (data tahun 2007), dan  mempunyai luas wilayah 1.416,96 Km2. Kecamatan-kecamatan yang terdapat di wilayah Kabupaten Nagekeo meliputi :
  1. Kecamatan Mauponggo
  2. Kecamatan Keo Tengah
  3. Kecamatan Nangaroro
  4. Kecamatan Boawae
  5. Kecamatan Aesesa
  6. Kecamatan Aesesa Selatan
  7. Kecamatan Wolowae
OBYEK WISATA
Obyek wisata di Kabupaten Nagekeo antara lain :
1.  Sumber Air Panas : Puta di Kecamatan Aesesa.
2.  Panorama Alam : Pantai Enagera di Kecamatan Mauponggo.
3.  Kesenian Daerah : Berbagai jenis tarian dan atraksi kesenian khas daerah seperti : Todagu, Tea Eku, Dalata, Goe-goe, Iki mea, dan sebagainya.
4.  Beberapa hasil kerajinan tangan (tenun) daerah seperti : Ragi Mbay, Hoba Nage dan lain-lain.

PETA JALAN RAYA FLORES BUATAN ABE KASALI